Kertarajasa Jayawardhana atau
disebut juga Raden Wijaya (lahir: ? - wafat: Majapahit, 1309)
adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja
pertama Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309,
bergelar Prabu Kertarajasa
Jayawardana, atau lengkapnya Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana.
Nama Asli
Raden Wijaya merupakan nama yang lazim
dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat
dalam Pararaton yang ditulis
sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya
secara lengkap, yaitu Raden
Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan
Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden belum
populer.
Nagarakretagama yang ditulis
pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar dyah merupakan
gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelarRaden.
Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra
Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling
tepat adalah Nararya
Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang
dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294.
Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun
gelar Dyah lebih sering digunakan.
Asal-Usul
Menurut Pararaton,
Raden Wijaya adalah putra Mahisa Campaka,
seorang pangeran dari Kerajaan Singhasari. Ia dibesarkan di
lingkungan Kerajaan Singhasari.
Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara,
Raden Wijaya adalah putra pasangan Rakyan Jayadarmadan Dyah Lembu Tal.
Ayahnya adalah putra Prabu Guru Darmasiksa,
raja Kerajaan Sunda Galuh, sedangkan ibunya
adalah putri Mahisa Campaka dari Kerajaan Singhasari. Dengan demikian,
Raden Wijaya merupakan perpaduan darah Sunda dan Jawa.
Setelah Rakyan Jayadarma tewas diracun musuhnya, Lembu Tal pulang ke Singhasari
membawa serta Wijaya. Dengan demikian, Raden Wijaya seharusnya menjadi raja
ke-27 Kerajaan Sunda Galuh. Sebaliknya, ia
mendirikan Majapahit setelah
tewasnya raja Kertanegara, raja Singhasari terakhir,
yang merupakan sepupu ibunya.
Kisah di atas mirip dengan Babad Tanah Jawi yang
menyebut pendiri Kerajaan Majapahit bernama Jaka Sesuruh putra
Prabu Sri Pamekas raja Kerajaan Pajajaran, yang juga terletak
di kawasan Sunda.
Jaka Sesuruh melarikan diri ke timur karena dikalahkan saudara tirinya yang
bernama Siyung Wanara. Ia kemudian
membangun Kerajaan Majapahit dan berbalik
menumpas Siyung Wanara.
Berita di atas berlawanan dengan Nagarakretagama yang
menyebut Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, putra Narasinghamurti.
Naskah ini memuji Lembu Tal sebagai seorang perwira yuda yang gagah berani dan
merupakan ayah dari Dyah Wijaya.
Silsilah Keluarga
Raden Wijaya dalam prasasti Balawi
tahun 1305 menyatakan
dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa.
Menurut Nagarakretagama, Wijaya adalah
putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti.
Menurut Pararaton, Narasinghamurti alias
Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri
Wangsa Rajasa. [1].
Menurut prasasti Balawi dan Nagarakretagama,
Raden Wijaya menikah dengan empat orang putri Kertanagara,
raja terakhir Kerajaan Singhasari, yaituTribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi,
dan Gayatri.
Sedangkan menurut Pararaton, ia hanya menikahi dua orang putri
Kertanagara saja, serta seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak,
yaitu salah satu dari dua putri yang dibawa kembali dari Melayu oleh
pasukan yang dulunya dikirim oleh Kertanagara yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu pada masa
kerajaan Singhasari. Dara Petak
merupakan salah seorang putri Srimat
Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa Raja Melayu
dari Kerajaan Dharmasraya [2].
Menurut prasasti Sukamerta dan prasasti
Balawi, Raden Wijaya memiliki seorang putra dari Tribhuwaneswari bernama Jayanagara.[3]Sedangkan
Jayanagara menurut Pararaton adalah putra Dara Petak, dan menurut Nagarakretagama adalah
putra Indreswari. Sementara itu, dari Gayatri lahir dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.
Namun demikian ada juga pendapat lain,
dimana Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga yang
juga salah seorang putri Kerajaan Melayu sebagai istrinya selain dari Dara
Petak, karena Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa —
dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa.
Menurut Prasasti Kudadu,
pada tahun 1292 terjadi
pemberontakan Jayakatwang bupati
Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden Wijaya
ditunjuk Kertanegara untuk menumpas
pasukan Gelang-Gelang yang menyerang dari arah utara Singhasari. Wijaya
berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak yang lebih besar
datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.
Menyadari hal itu, Raden Wijaya
melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah utara Singhasari. Namun
karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke arah timur. Dengan bantuan
kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat Madura untuk bertemu Arya Wiraraja penguasa Songeneb (nama
lamaSumenep).
Bersama Arya Wiraraja, Raden Wijaya
merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta dari tangan Jayakatwang.
Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan Jayakatwang, maka daerah
kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan Wiraraja. Siasat pertama pun
dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita kepada Jayakatwang bahwa
Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang telah membangun kembali
negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadirimenerimanya
dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan
Jungbiru.
Siasat berikutnya, Wijaya meminta Hutan
Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata perburuan.
Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar berburu segera
mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang Songeneb untuk
membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji
Wijayakrama, salah seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit.
Oleh karena itu, desa pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi
nama Majapahit.
Menjadi Raja
Majapahit
Catatan Dinasti Yuan mengisahkan
pada tahun 1293
pasukan Mongol sebanyak
20.000 orang dipimpin Ike Mese mendarat
di Jawa untuk
menghukum Kertanagara.karena pada
tahun 1289 Kertanagara
telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja
Mongol.
Raden Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini
untuk menghancurkan Jayakatwang.
Ia pun mengajak Ike Mese untuk bekerjasama. Wijaya meminta bantuan untuk
merebut kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu
baru ia bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.
Jayakatwang yang mendengar persekutuan
Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri untuk menghancurkan mereka.
Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh pihak Mongol. Selanjutnya,
gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura bergerak menyerang Daha,
ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya menyerah dan ditawan dalam kapal
Mongol.
Setelah Jayakatwang dikalahkan, Wijaya
meminta izin untuk kembali ke Majapahit mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike
Mese mengizinkannya tanpa curiga. Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh
para prajurit Mongol yang mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke
arah Daha di mana pasukan Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak
itu membuat Ike Mese kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur
pasukannya meninggalkan Jawa.
Wijaya kemudian menobatkan dirinya
menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan
tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika tahun
1215 Saka,
atau bertepatan dengan 12 November 1293.
Dalam memerintah Majapahit, Wijaya
mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam perjuangan. Nambi diangkat
sebagai patih Majapahit, Lembu Sorasebagai patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai
pasangguhan. Pada tahun 1294 Wijaya
juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu yang dulu melindunginya
saat pelarian menuju Pulau Madura.
Pada tahun 1295 seorang
tokoh licik bernama Mahapati menghasut
Ranggalawe untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi
sebagai patih, dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit.
Setelah Ranggalawe tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya
mengabulkannya. Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal
setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di
Lamajang (nama lama Lumajang).
Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman
Ranggalawe. Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun,
ketika Ranggalawe dibunuh dengan kejam oleh Kebo
Anabrang, Sora merasa
tidak tahan dan berbalik membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh
Mahapati sehingga terjadi suasana perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua
kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di
halaman istana.
Menurut Nagarakretagama,
Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau
perpaduan Wisnu dan Siwa.
Kepustakaan
- Babad
Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647.
(terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- Marwati
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- R.M.
Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah
- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang
1965). Yogyakarta: LKIS
- Slamet
Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:
Bhratara
Referensi
2.
^ Slamet
Muljana, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LKiS, ISBN 979-98451-16-3.