Ranggalawe atau Rangga Lawe (lahir: ? - wafat: 1295)
adalah salah satu pengikut Raden
Wijaya yang
berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit,
namun meninggal sebagai pemberontak pertama dalam sejarah kerajaan ini. Nama
besarnya dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban sampai
saat ini.
Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai
putra Arya Wiraraja bupati Songeneb (nama lama Sumenep). Ia
sendiri bertempat tinggal di Tanjung, yang terletak di Pulau Madura sebelah barat.
Pada tahun 1292 Ranggalawe dikirim ayahnya
untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Rangga Lawe sendiri
merupakan pemberian Raden Wijaya karena
berkaitan dengan penyediaan 27 ekor kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang
Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang raja Kadiri atau juga mempunyai arti ranggaberarti ksatria / pegawai kerajaan dan Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti "benang",[1] atau dapat juga bermakna
"kekuasaan" atau kemenangan. dan Ranggalawe kemudian diberi kekuasaan oleh Raden
Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.
Penyerangan terhadap ibu
kota Kadiri oleh gabungan pasukan Majapahit dan Mongol terjadi pada tahun 1293. Ranggalawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur kota
Kadiri. ia berhasil menewaskan pemimpin benteng tersebut yang bernama Sagara
Winotan.
Jabatan di Majapahit
Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit.
Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya dalam perjuangan Ranggalawe diangkat
sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan
utama Jawa Timur saat itu.
Prasasti Kudadu tahun 1294 yang memuat daftar nama
para pejabat Majapahit pada awal berdirinya, ternyata tidak mencantumkan nama
Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun prasasti Kudadu
menyebut dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang tokoh yang berbeda.
Sejarawan Slamet Muljana mengidentifikasi Arya Adikara
sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah kemudian
dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja,
kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika dirinya diangkat sebagai
pejabat Majapahit.
Dalam
prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut sama-sama menjabat sebagai pasangguhan, yang keduanya masing-masing
bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja
Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara
Arya Adikara.
Tahun
pemberontakan
Pararaton menyebut
pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1295,
namun dikisahkan sesudah kematian Raden Wijaya.
Menurut naskah ini, pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara naik
takhta.
Menurut Nagarakretagama,
Raden Wijaya meninggal dunia dan digantikan kedudukannya oleh Jayanagara
terjadi pada tahun 1309.[2] Akibatnya,
sebagian sejarawan berpendapat bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada
tahun 1309, bukan 1295. Seolah-olah pengarang Pararaton melakukan
kesalahan dalam penyebutan angka tahun.
Namun Nagarakretagama juga
mengisahkan bahwa pada tahun 1295 Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau
"raja muda" di istana Daha.
Selain itu Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung
Ranggalawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan Ranggalawe
terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanagara.
Fakta
lain menunjukkan, nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara sama-sama terdapat dalam
prasasti Kudadu tahun 1294, namun kemudian keduanya sama-sama tidak terdapat
lagi dalam prasasti Sukamreta tahun 1296. Ini pertanda bahwa Arya Adikara alias
Ranggalawe kemungkinan besar memang meninggal pada tahun 1295, sedangkan Arya
Wiraraja diduga mengundurkan diri dari pemerintahan setelah kematian anaknya
itu.
Jadi,
kematian Ranggalawe terjadi pada tahun 1295 bertepatan dengan pengangkatan
Jayanagara putra Raden Wijaya sebagai raja muda. Dalam hal ini pengarangPararaton tidak
melakukan kesalahan dalam menyebut tahun, hanya saja salah menempatkan
pembahasan peristiwa tersebut.
Sementara
itu Nagarakretagama yang dalam banyak hal memiliki data lebih
akurat dibanding Pararaton sama sekali tidak membahas
pemberontakan Ranggalawe. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah ini merupakan
sastra pujian sehingga penulisnya, yaitu Mpu Prapanca merasa
tidak perlu menceritakan pemberontakan seorang
pahlawan yang dianggapnya sebagai aib.
Jalannya
pertempuran
Pararaton mengisahkan
Ranggalawe memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena
dihasut seorang pejabat licik bernama Mahapati. Kisah yang lebih panjang terdapat
dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe.
Pemberontakan
tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan
patih. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya
diserahkan kepada Lembu Sora yang
dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan daripada Nambi.
Ranggalawe
yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibu kota dan
langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama sekali
tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih.
Karena
tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana.
Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk
meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban.
Mahapati
yang licik ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa Ranggalawe sedang
menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin
pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum
Ranggalawe.
Mendengar
datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang
pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana.
Ranggalawe bertanding melawan Kebo Anabrang di dalam sungai. Kebo Anabrang yang
pandai berenang akhirnya berhasil membunuh Ranggalawe secara kejam.
Melihat
keponakannya disiksa sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan. Ia pun
membunuh Kebo Anabrang dari belakang. Pembunuhan terhadap rekan inilah yang
kelak menjadi penyebab kematian Sora pada tahun 1300.
Silsilah
Ranggalawe
Kidung Ranggalawe dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut
Ranggalawe memiliki dua orang istri bernama Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya
adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar Pelandongan. Dari Martaraga lahir
seorang putra bernama Kuda Anjampiani.
Kedua
naskah di atas menyebut ayah Ranggalawe adalah Arya Wiraraja.
Sementara itu, Pararaton menyebut
Arya Wiraraja adalah ayah Nambi. Kidung Harsawijaya juga
menyebutkan kalau putra Wiraraja yang dikirim untuk membantu pembukaan Hutan
Tarik adalah Nambi, sedangkan Ranggalawe adalah perwiraKerajaan Singhasari yang kemudian
menjadi patih pertama Majapahit.
Uraian Kidung Harsawijaya terbukti
salah karena berdasarkan prasasti Sukamreta tahun 1296 diketahui
nama patih pertama Majapahit adalah Nambi, bukan Ranggalawe.
Nama
ayah Nambi menurut Kidung
Sorandaka adalah Pranaraja. Sejarawan Dr. Brandes menganggap
Pranaraja dan Wiraraja adalah orang yang sama. Namun, menurut Slamet Muljana
keduanya sama-sama disebut dalam prasasti Kudadu sebagai dua orang tokoh yang
berbeda.
Menurut
Slamet Muljana, Nambi adalah putra Pranaraja, sedangkan Ranggalawe adalah putra
Wiraraja. Hal ini ditandai dengan kemunculan nama Arya Wiraraja dan Arya
Adikara dalam prasasti Kudadu, dan keduanya sama-sama menghilang dalam prasasti
Sukamreta sebagaimana disinggung sebelumnya.
Versi
dongeng
Nama
besar Ranggalawe rupanya melekat dalam ingatan
masyarakat Jawa.
Penulis Serat Damarwulan atau Serat Kanda,
mengenal adanya nama Ranggalawe namun tidak mengetahui dengan pasti bagaimana
kisah hidupnya. Maka, ia pun menempatkan tokoh Ranggalawe hidup sezaman dengan Damarwulan dan Menak
Jingga. Damarwulan sendiri merupakan tokoh
fiksi, karena kisahnya tidak sesuai dengan bukti-bukti sejarah, serta tidak
memiliki prasasti pendukung.
Dalam
versi dongeng ini, Ranggalawe dikisahkan sebagai adipati Tuban yang
juga merangkap sebagai panglima angkatan perang Majapahit pada masa pemerintahan Ratu
Kencanawungu. Ketika Majapahit diserang oleh Menak Jingga adipati Blambangan, Ranggalawe ditugasi
untuk menghadangnya. Dalam perang tersebut, Menak Jingga tidak mampu membunuh
Ranggalawe karena selalu terlindung oleh payung pusakanya. Maka, Menak Jingga
pun terlebih dulu membunuh abdi pemegang payung Ranggalawe yang bernama
Wongsopati. Baru kemudian, Ranggalawe dapat ditewaskan oleh Menak Jingga.
Tokoh
Ranggalawe dalam kisah ini memiliki dua orang putra, bernama Siralawe dan
Buntarlawe, yang masing-masing kemudian menjadi bupati di Tuban danBojonegoro.
Referensi
1. ^ dalam Kidung Panji Wijayakrama, Kidung
Sorandaka dan Prasasti
Penanggungan disebutkan
mengenai nama Rangga Lawe putra Arya Wiraraja merupakan nama
hadiah dari Narrya Sanggramawijaya atau secara umum disebut dengan Raden Wijaya